Indeks IPK Indonesia Menurun, Presiden: Segera Koreksi dan Evaluasi
Presiden Jokowi ketika memberikan keterangan usai mengunjungi Pasar Baturiti Kabupaten Tabanan Provinsi Bali, Provinsi Bali, Kamis (2/2/2023). |
TABANAN, LARAS POST – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 mengalami penurunan. Hal itu disebabkan terungkapnya kasus korupsi di Tanah Air.
Terkait hal itu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa penurunan IPK Indonesia pada tahun 2022 akan menjadi koreksi dan evaluasi pemerintah agar kedepannya IPK Indonesia makin baik.
"Iya itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama," ujar Presiden ketika memberikan tanggapan terkait IPK tersebut usai mengunjungi Pasar Baturiti Kabupaten Tabanan Provinsi Bali, Provinsi Bali, Kamis (2/2/2023).
IPK Sejak Tahun 1995
Semenjak tahun 1995, Transparansi Internasional telah menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) setiap tahun yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis.
Survei tahun 2003 mencakup 133 negara. Hasilnya menunjukan tujuh dari setiap sepuluh negara (dan sembilan dari setiap sepuluh negara berkembang) memiliki indeks 5 poin dari 10. Pada 2006 survei mencakup 163 negara. Indonesia berada pada peringkat 130 dari 163 negara tersebut dengan nilai indeks 2,4. Pada 2007 survei mencakup 180 negara. Indonesia berada pada peringkat 145 dari 180 negara tersebut dengan nilai indeks 2,3. Pada tahun 2009 survei mencakup 178 negara. Indonesia berada pada peringkat 110 dengan nilai indeks 2,8, dan pada 2010 naik menjadi peringkat 100 dari 182 negara dengan nilai indeks 3,0.
Nilai dari indeks ini sedang didebatkan, karena berdasarkan survei, hasilnya tidak bisa dihindarkan dari bersifat subjektif. Karena korupsi selalu bersifat tersembunyi, maka mustahil untuk mengukur secara langsung, sehingga digunakan berbagai parameter untuk mengukur tingkat korupsi. Contohnya adalah dengan mengambil sampel survei persepsi publik melalui berbagai pertanyaan, mulai dari "Apakah Anda percaya pada pemerintah?" atau "Apakah korupsi masalah besar di negara Anda?". Selain itu, apa yang didefinisikan atau dianggap sah sebagai korupsi berbeda-beda di berbagai wilayah hukum: sumbangan politis sah di satu wilayah hukum mungkin tidak sah di wilayah lain; sesuatu yang dianggap sebagai pemberian tip biasa di satu negara bisa dianggap sebagai penyogokan di negara lain.
Dengan demikian, hasil survei harus dimengerti secara khusus sebagai pengukuran persepsi (anggapan) publik, bukannya satu ukuran yang objektif terhadap korupsi. (her, sg)
No comments